Selasa, 06 Oktober 2020

Tari Cakalele dan Tari Tenun Pelauw Haruku Maluku Tengah

Tari Cakalele dan Tari Tenun Pelauw
Haruku Maluku Tengah
Ma'atenu Lo'oriya Matasiri Hatuhaha


Pada bagian utara pulau Haruku (wilayah Maluku Tengah) terdapat kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Hatuhaha. Hatuhaha mempunyai arti, yaitu injak di atas batu. Kerajaan Islam tersebut terbentuk sekitar tahun 1420—1637 yang terdiri atas 5 negeri yang disebut Amarima Lounusa yang didirikan dengan nama Matasiri (Pelauw), Sahapori (Kailolo), Samasuru (Kabauw), Mandalise (Rohomoni), Haturesi (Hulaliu). Penduduk Satu negeri dari kelima negeri tersebut, yakni Hulaliu telah beralih dari mayoritas memeluk agama Islam ke agama Kristen atas perintah dari gubernur di bawah tekanan penjajah, yang awalnya di perintah untuk berpindah keyakinan ke agama kristen dalam 3 bulan, yang akan tetapi pada faktanya ternyata lebih dari itu sampai sekarang


Negeri Hatuhaha adalah negeri yang kaya sejarah dengan berbagai adat istiadat di dalamnya. Salah satunya adalah ritual adat ma’atenu atau biasa di sebut Cakalele, yang berarti uji ketahanan kemampuan kesiapan menghadapi serangan. Ritual adat Cakelele ini dilaksanakan dalam 3 tahun sekali. Cakalele merupakan upacara adat di Desa Pelauw dalam bentuk tarian perang yang menggambarkan kisah perjuangan penuh keperkasaan melawan kezaliman. Ma’atenu adalah warisan budaya masa lampau yang mengedepankan nilai-nilai Islam


Bagi Masyarakat Pelauw, mereka meyakini bahwa tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun itu adalah wujud dari jiwa keberanian Sayidina Ali, sahabat dan anak mantu Rasulullah saw yang terkenal sebagai pemberani di medan perang. Sehingga para lelaki yang mengikuti ritual ma’atenu digambarkan sebagai sosok para pejuang Islam pada masa lampau. Pelauw adalah tempat dilaksanakan ritual adat ma’atenu (cakalele) yang terletak pada kawasan pelataran adat Jazirah Hatuhaha Pelauw (disebut juga Negeri Matasiri) di pulau Haruku. Dalam struktur tata pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah, negeri berpenduduk 24.717 jiwa (data sensus tahun 2015) itu merupakan ibu kota kecamatan di pulau seluas 178 km² tersebut. Ritual ma’atenu dapat dikuti oleh semua pria yang telah akil baliq dan anak cucu Pelauw yang mempunyai keturunan darah dari Hatuhaha tanpa persyaratan yang berat. Syaratnya yakni bermodalkan keberanian, keyakinan akan kekuatan yang sudah ada dalam darahnya, dan restu orang tua, maka tubuhnya dipastikan akan kebal saat mengikuti ma’atenu


Sebulan sebelum pelaksanaan ma’atenu, pemuka adat dan agama di Pelauw sudah menyiapkan upacara adat dengan memanjatkan doa di masjid kepada sang khalik dan para upu (leluhur). Selama masa itu, kaum pria Pelauw sudah bersiap-siap mengasah parang dan menyiapkan pakaian perangnya


Kaum pria yang mengikuti ritual ini jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri dengan membersihkan jiwa dari segala kesalahan dan dosa yang dilakukan terutama kepada orang tua. Dan pada Saat pelaksanaan ritual ma’atenu, kaum pria menuju rumah soa (marga) atau rumah pusaka. Ketika para pria mereka keluar dari rumah soa, Kepala Soa akan memastikan kekebalan dengan cara menebas badan para pria dengan mengunakan parang yang paling tajam, yang telah diasah berulangulang selama satu bulan penuh. Senjata tajam yang digunakan haruslah senjata tajam paling tajam karena jika tidak justru membuat badan menjadi sakit. Menariknya, tubuh yang ditebas tidak meninggalkan luka. Kalaupun ada, hanya tampak seperti garisan bekas sayatan benda tajam 


Dalam perjalanan, umumnya mereka berada dalam kondisi ka’a (Trance)atau dikenal dengan sebutan kapitan sambil memperlihatkan kekebalan dan ketahanan tubuh menghadapi senjata tajam lewat atraksi ma’atenu. Ka’a adalah kondisi raga yang kebal dari berbagai jenis senjata tajam seperti silet, kapak, dan pecahan beling. Ka’a tidak hanya terjadi pada pria yang mengikuti ritual ma’atenu saja, tetapi kondisi ini juga akan terjadi pada wanita atau orang- orang yang menonton adat ma’atenu. Hal ini terjadi ketika mereka melihat orang yang mengikuti ma’atenu mempunyai hubungan saudara dengan mereka. Sehingga di setiap jalan dipasangi kain salele (kain putih) untuk membatasi penonton dengan orang-orang yang mengikuti Ma’atenu

Dalam ritual ini para peserta ma’atenu wajib memakai ikat kepala putih, sedangkan penonton pria wajib memakai penutup kepala. Dalam mengikuti ritual ma’atenu tidak selamanya peserta ma’atenu kebal terhadap senjata tajam. Ada pantangan atau larangan tertentu yang tidak boleh dilanggar, misalnya tidak ada izin dari orang tua atau ada petunjuk tetapi dilanggar. Apabila pantangan tersebut dilanggar, maka orang yang mengikuti ma’atenu akan terluka. Setelah itu mereka berziarah ke makam para leluhur yang oleh warga setempat disebut keramat


Prosesi pelaksanaannya terbagi dalam tiga kelompok besar yang menghimpun 13 soa di Negeri Pelauw. Tiga kelompok ini pergi menuju tiga rute yang terdapat keramat, yakni makam para upu (leluhur) yang diyakini sebagai Wali Allah, yakni orang-orang suci yang menyiarkan agama Islam. Rute pertama dikenal dengan Keramat Matasiri atau Latu Rima terdiri atas Soa Latuconsina, Sahubawa, Talaohu, Latupono, dan Latuamury. Rute kedua, yakni Keramat Waelurui terdiri atas soa Tualepe , Salampessy, Tuakia, Angkotasan, dan Tuankotta. Rute ketiga Keramat Hunimoki atau Waelapia terdiri dari soa Tualeka, Tuahena, dan Tuasikal

Untuk sampai ke keramat, peserta ma’atenu harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki tanpa alas sendal  atau sepatu untuk pergi dan pulangnya. Keramat terjauh adalah Keramat Waelurui berjarak sekitar sembilan kilometer dan terdekat adalah Keramat Waelapia sekitar lima kilometer. Sesampainya di Keramat, tetua adat memberi sesembahan berupa pinang, daun sirih, dan kapur. Setelah sesembahan diletakkan di tempatnya, Jurpus (Juru Pusaka) atau tetua adat membakar damar dan berdoa kepada leluhur. Terdengar sesekali para kapitan meneriakan shalawat nabi. Sebelum kembali lagi ke kampung, para pemuda memakan bekal yang dibawa dan dimandikan oleh para Ma'ahala lahat atau biasa di sebut  kapitan di sungai


Dalam perjalanan pulang, seluruh peserta ma’atenu mempertontonkan kebolehannya membacok anggota tubuhnya di sepanjang perjalanan. Setelah semua prosesi adat dijalankan di Keramat, kelompok Matasiri yang mengambil rute dari arah barat muncul di halaman masjid dengan tabuhan genderang perang (Bedug, Tifa,Rebana) membuat suasana menjadi panas sehingga terkadang  bisa membuat penonton yang masih ada ikatan keluarga dengan peserta ma'atenu akan turut ber-cakalele. Selang sekitar 30 menit kemudian, kelompok Waelurui dari arah timur muncul dengan genderang perang yang tidak kalah ramai. Kelompok Waelapia muncul terakhir dari arah timur membuat suasana bertambah panas dan merinding



Peragaan cakalele ini pun berakhir di Bai'leu yang berada di pelataran masjid dengan di tandai berhentinya genderang perang. Untuk menghilangkan pengaruh kapitan yang masih melekat atau membekas, ibu-ibu dari tiap-tiap soa menyarungkan kain ma’alahe ke leher tiap-tiap pria peserta ma’atenu sebagai simbolis sambutan kemenangan saat pulang dari peperangan, yang sekaligus menandakan berakhirnya acara ma'atenu pada hari itu





Pada keesokan harinya akan di adakan ritual La'an Hataiyolo atau tarian Tenun di pelataran masjid sekaligus sebagai acara penutupan Ma'atenu Lo'oriya Pelauw Hatuhaha, yang di isi oleh perwakilan gadis dari beberapa rumah Soa yakni Rumah Soa Salampessy, Rumah Soa  Latuconsina, Rumah Soa  Latuamuri, Rumah Soa  Tuasikal, Rumah Soa  Tualepe, Rumah Soa  Tuahena, Rumah Soa  Latupono, Rumah Soa  Tuangkotta, Rumah Soa  Angkotasan, Rumah Soa Tualeka, Rumah Soa Talaohu, Rumah Soa Tuakia, Rumah Soa Sahubauw


Tidak seperti tarian yang pada umumnya kebanyakan di lakukan dengan gerakan gerakan kompleks, Tari Tenun Pelauw tersebut lebih terlihat seperti ritual seremonial yang sangat sakral dan suci warisan leluhur secara turun temurun. yang mempresentasikan penyatuan ikatan kerahiman persaudaraan dari semua rumah Soa di negeri Pelauw yang tidak dapat di pisahkan satu dengan yang lain dengan simbolis kain tenun yang panjang (Kaing Salele). Penari tenun dari Soa Latuconsina berada paling depan dan tidak di kaitkan dengan kain Tenun, lalu di belakangnya penari dari Soa Salampesy di pautkan kain Salele (Tenun) di pundaknya yang lalu terhubung ke Penari Soa Tuasikal kemudian ke Penari Soa Tualeka, dan sisa kain Salele yang panjang dijulur ke semua ibu ibu yang berdiri di belakangnya yang mengaitkan tangannya satu ke yg lainnya, mereka bergerak secara perlahan mengikuti gerak maju penari Soa Latuconsina yang berada di depan dengan melantunkan lagu lagu kerahiman lahirnya kerajaan Hatuhaha yang selalu meretaskan tali silaturahim sampai acara selesai


Baca juga :